04 August 2015

[The Story] Love Destiny (Over The Rain Challenge)



Judul Cerita : Over The Rain
Penulis Cerita Asli : Asri Damayanti Tahir
Judul OTR Challenge : Love Destiny
Penulis OTR Challenge : princessashr

Hai.. hai.. Ketemu lagi dengan aku disini.. Kali ini aku mau nulis cerita yang kemarin iseng aku bikin buat OTR Challenge di situs orange, wattpad. Walaupun nggak menang, tapi, setidaknya aku udah seneng banget, ceritaku nampang dan dibaca orang-orang..

Dan inilah pembuka serta coretan ceritaku..

Check it out..

Hoyaa.. Iseng ahhh, coba ikutan challengenya mba asharliz. Padahal udah punya novelnya lhooo.. Kalau semisal aku menang, boleh diganti sama novel yang baru ngga, mba? *tetep usaha ngerayu*. Semoga ceritanya nggak bikin ilfeel yaa. Bikinnya mendadak dangdut soalnya. Cekidot.. 

 
Tiga bulan kemudian..

Ya, katakanlah aku pengecut. Aku memang ditakdirkan untuk menjadi pengecut permanen rupanya. Tak ada yang bisa kulakukan tatkala melihat kekasih hatiku bersanding kembali dengan mantan suaminya, Reza. Kalaupun ada yang bisa kulakukan, pastinya tak akan aku lakukan, karena aku tahu itu hanya akan menambah rasa sakit di hatinya. Sudah cukup, aku menyakitinya. Menyakiti Rayya semenjak dia masih dalam kandungan. Dosaku sudah cukup banyak. Memisahkan wanita yang aku cintai dari anak dan suaminya. Memisahkan janin dalam kandungan dari ayahnya. Aku tak ingin menambah dosa lagi. Aku tak ingin merasa sakit lagi. Karena itu kuputuskan pergi sejenak dari mereka, bukan dari mereka sebenarnya, tapi dari Bulan, yaa.. Wanitaku, Bulanku. Kini aku paham, jika Bulan dan Bintang tak akan pernah ditakdirkan bersama sekalipun di Langit Malam. Hanya bisa bersanding tanpa bisa saling memiliki.

Di kota ini, aku tinggal sendiri. Entah kenapa, kali ini aku tak memiliki ambisi apapun itu dalam hidupku kecuali membesarkan perusahaan keluargaku. Walaupun orang tuaku memaksaku untuk segera menikah, aku tetap masih bergeming dengan kesendirianku. Perasaanku ikut terkubur bersama dengan keputusanku kala itu, merelakannya bersama kembali dengan cinta sejatinya. Huft.. Untuk apa aku mengingat kembali ke masa lalu, cukuplah kujadikan pelajaran dalam hidupku. Semoga saja, kelak aku bisa bertemu dengan seseorang yang mereka sebut tulang rusukku, separuh nafasku, separuh jiwaku. Semoga saja..

Lamunanku buyar seketika tatkala kudengar ketukan di pintu ruang kerjaku..

"Permisi, Bapak Bintang yang terhormat"

Ampun dah, nyonya besar datang, alamat ceramah pindah kesini deh.

"Mama, kapan datang? Kok nggak bilang sama Bintang dulu kalau mau datang. Kan bisa Bintang jemput, mam. Sama papa nggak, mam?"

"Mama barusan aja datang. Kamu ini dari kemarin mama telepon nggak pernah diangkat. Gimana kamu bisa tahu kapan mama mau datang. Papamu lagi ngobrol sebentar sama Pak Handi"

"Maaf, mam. Kemarin Bintang seharian rapat. Nggak sempat lihat HP. HPnya Bintang silent, mam. Tu mpe habis batterynya, baru Bintang charge. Maafkan Bintang ya, mam"

"Ya sudahlah, sudah terlanjur juga kan, mama sama papa udah sampai sini juga. Oh ya, nak, kamu sibuk nggak minggu depan? Mama mau kamu pulang sebentar aja nggak apa-apa kok. Ada pesta ulang tahunnya Rayya, anaknya Bulan. Dia minta mama buat ngundang kamu juga. Bisa kan, nak?"

Ya ampun, mam. Ini anakmu masih dalam taraf move on, kenapa malah diminta datang ke ulang tahunnya anaknya Bulan, Rayya. Ampun deh. Huft, pasang muka semanis mungkin. Oke, kamu bisa, Bintang.

"Bingang coba yaa, mam. Lihat jadwal Bintang juga. Takutnya nanti ada rapat dadakan yang mengharuskan Bintang terbang ke negara mana lagi. Nanti Bintang kabari mama, oke?"

Tak kuasa aku melihat raut sendi di wajah mamaku. Tapi, percaya, hanya sebentar saja raut wajah itu akan berubah kembali seperti semula.

"Oke, oke.. Mama tunggu kabar kamu. Oh ya, Bintang, kapan itu sewaktu mama pulang dari belanja sama Bibi, ada seorang wanita yang datang ke rumah. Mama nggak tahu dan mama belum pernah ketemu sama wanita itu. Tapi, kalau dilihat-lihat sih, cantik dan kayaknya lagi hamil deh. Sewaktu mama deketin, dia keburu pergi. Setelah itu, dia nggak pernah datang lagi ke rumah. Hanya sekali itu aja, nak. Kira-kira siapa yaa?"

Deg! Apa tadi mama bilang? Wanita cantik dan kayaknya lagi hamil? Jangan bilang kalau itu.. Aaarrrggghhh..

"Mam, Bintang pergi dulu yaa.. Nanti Bintang telepon. Oke?"

Aku hanya bisa berlari dengan kecepatan yang aku punya, sembari menelepon asistenku untuk mencarikanku tiket pulang dan mereschedule semua jadwal-jadwalku. Entah kenapa, feelingku mengatakan jika memang dia yang datang. Wanita yang sama-sama merasakan sakit sepertiku dan yang sudah kucari kemanapun selama ini. Entah aku yang bodoh atau dia yang pandai bersembunyi.

Jakarta..

"Mas Bintang, kok mendadak pulang, mas? Bukannya ibu sama bapak baru di Inggris ya, mas?"

"Pak Min, tolong jangan banyak tanya dulu yaa.. Sekarang tolong antarkan saya ke alamat ini. Cepetan ya, pak, nggak pakai lama. Makasih"

"I.. Iya, mas Bintang"

Semoga dia masih ada disana. Semoga, Tuhan masih berbaik hati padaku yang penuh dosa ini. Semoga.

Rumah ini, sudah beberapa bulan sejak terakhir aku mengantarkannya pulang setelah menghabiskan malam bersama, malam yang terlarang. Masih cantik namun sedikit tak terawat. Apakah mungkin dia sudah tak lagi tinggal disini?

Tok.. Tok.. Tok..

Tak perlu waktu lama pintu yang kuketuk perlahan terbuka. Dan wajah itu, wajah yang sama seperti malam itu. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan tatkala melihatku. Hampir saja pintu itu tertutup lagi, tapi berhasil kucegah.

"Pak Min, tolong pulang saja. Dan jika mama nanya, bilang saja saya lagi ada keperluan. Dan jangan sampai antarkan mama kemari, mengerti, pak Min? Makasih"

"Baik, mas Bintang. Saya pamit pulang dulu"

Pintu itu pun kembali tertutup seiring dengan kepergian pak Min. Huft.. Sepertinya hari ini akan menghabiskan banyak energi.

"Kamu apa kabar? Kemana aja selama ini? Aku udah nyari kamu di kantor, di apartemen kamu, dan dirumah ini. Tapi, tak ada satu pun jejak yang menandakan kamu ada di kedua tempat itu. Aku frustasi, kamu tahu itu, huh? Entah aku yang terlalu bodoh atau kamu yang pintar bersembunyi. Kita perlu bicara!" Kataku tegas tak ingin dibantah.

"A-aku tak pernah pergi kemana pun. A-aku memang sempat cuti dari kerjaanku di kantor. Aku hanya bingung. Aku nggak tahu lagi mesti gimana. Aku takut jika kejadian malam itu akan membawa banyak perubahan dalam hidupku. Ternyata.. Hiks.. Hiks.. Aku baru mengetahuinya 3 minggu yang lalu kalau..hiks..hiks.."

Pernahkah kukatakan jika aku tak pernah sanggup mendengar dan melihat seorang wanita menangis? Walaupun itu seseorang yang aku benci sekalipun. Tapi, entah mengapa, mendengar dia menangis seperti ini, aku semakin tak sanggup mendengarnya. Tangisan yang terdengar menyayat hati. Perlahan dan dengan keragu-raguan, aku mendekatinya dan kupeluk tubuh mungilnya. Ketakutanku beralasan tentunya. Aku takut dia memberontak di pelukanku. Apalagi dengan kondisi dia sekarang ini.

"Ssttt.. Tenanglah.. Jangan lagi menangis.. Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku sudah berjanji bukan jika apapun yang terjadi malam itu, aku akan bertanggung jawab. Sekarang, katakanlah apa yang kamu ketahui 3 minggu lalu? Hmm.."

"A-aku hamil. Aku mesti gimana? Mamaku pasti marah besar jika nanti beliau tahu. Aku takutttt.. Sekarang masih aman, karena Mama lagi keliling Amerika bersama Tante. Ta-tapi nanti kalau beliau pulang dan tahu aku sekarang ini, aku bingung"

Kuusap pelan punggungnya. Sial, hanya mengusap punggung saja, tubuhku sudah mulai bereaksi tak normal seperti ini. Ini udah nggak wajar. Tak pernah tubuhku bereaksi tak normal seperti ini sekalipun dengan Bulan. Kenapa lagi-lagi Bulan yang teringat di otakku. Huft.. Kuhembuskan nafasku kasar. Sepertinya tak aman jika berbicara dengannya di sini. Harus pindah tempat. Karena bisa saja mamanya datang tiba-tiba.

"Kamu ikut aku yaa, kita bicara di tempat lain ya. Aku nggak ingin pembicaraan kita terganggu sama siapapun itu. Sekarang, kamu beresi pakaianmu, bawa secukupnya. Aku akan membawamu bepergian sebentar ke tempat yang tak pernah diketahui orang. Tenang, aku tak mempunyai niat buruk padamu. Aku hanya ingin kita bicara dengan aman tanpa gangguan. Oke?!"

Kulihat dia menganggukkan kepalanya cepat. Takut jika aku bertambah marah, mungkin. Padahal sedari tadi aku tak marah, hanya kesal karena dia menghilang. Tak tahukah dia bagaimana aku disana memikirkan keadaannya. Dosaku sudah cukup banyak ditambah sekarang kenyataan ini. Menambah deretan dosaku yang entah kapan akan diampuni.

Tak sampai sepuluh menit dia keluar kembali dari dalam ruangan, kamarnya kukira. Hanya satu koper besar yang dia bawa, selebihnya tak ada. Apa dia berniat pergi beneran yaa? Dikiranya aku ngajakkin piknik apa yaa?

"Mana kunci mobil kamu, hmm..?" Kutanyakan padanya yang sedari tadi hanya diam.

"I-ini kuncinya, ada bensinnya kok" Kuusap pelan pipinya sambil tertawa kecil. Tak menyangka jawaban yang diberikan.

Tak lama, mobil ini pun membelah jalanan yang teramat padat. Namun ada satu yang kutakutkan, kondisi dia, apakah baik-baik saja.

"Kamu nggak apa-apa kan? Baik-baik aja kan? Babynya gimana?"

Dia kaget tatkala kutanyakan tentang baby yang ada dalam kandungannya. Anakku, anak kami berdua. Kulihat rona merah di pipinya. Dia tersipu malu.

"Baik-baik aja kok. Sebenarnya kita mau kemana? Kalau boleh, mampir ke apotek sebentar, aku mau beli vitamin untuk kandunganku. Vitaminnya habis dan aku belum sempat ke dokter lagi"

"Oke, siap laksanakan, mom" Kerlingan di mataku cukup membuatnya tertawa kecil. Ahhh, akhirnya dia kembali seperti dulu lagi. Riang, ceria dan suka tertawa.

"Kamu tunggu disini yaa, biar aku yang beliin vitaminnya. Resepnya mana?"

"Haa? Nggak usah, aku aja. Nanti kamu malu dan bingung"

"Nggak apa-apa kok, udah santai aja. Sekarang mana resepnya?"

"Kita beli berdua aja yaa, biar kamu nggak malu, please"

Kukedikkan bahuku sembari keluar dan membukakan pintu untuknya. Tak lama setelah vitamin yang dia inginkan sudah terbeli, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini ke satu tempat yang bahkan orang tuaku tak pernah tahu. Rumah impian yang sudah kusiapkan untuk seseorang yang kukasihi. Namun belum jadi, dia sudah terlepas. Tapi, pembangunannya tetap berjalan seperti sedia kala. Hanya saja merubah sedikit bentuk rumahnya.

"Nah, kita sampai. Hei, bangun.. Kita udah sampai. Friska, bangun.. Nanti dilanjutin tidur di dalam yaa"

"Ini dimana? Kamu bawa aku kema.."

Dia beranjak turun dan kulihat binar di matanya. Tuhan, buat aku jatuh cinta dengan wanita ini, calon ibu dari anak-anakku.

"Ini rumahnya bagus banget, keren banget, Bintang. Ini rumah siapa?"

"Ini rumah aku, yuk masuk, lihat ke dalam, kamu pasti suka"

Anggukan kepalanya teramat mantap. Aku hanya bisa tertawa kecil melihatnya.

"Bintang, keren banget sih rumahnya. Sumpah yaa.. Kamu bikinnya asyik banget. Kreatif banget sih.. Kayak yang aku pingin selama ini kalau punya rumah sendiri.. Hehe.."

Deg! Senyumnya, tawanya.. Aku hanya bisa terdiam melihat itu semua. Hatiku menghangat melihatnya.

"Kamu suka? Ini buat kamu, buat anak kita nanti"

"Ma-maksud kamu apa, Bintang?"

Aku melihat keterkejutan di matanya. Kubimbing dia untuk duduk di kursi yang ada di ruang keluarga ini. Setelah memastikan dia duduk, aku bergegas ke dapur untuk mengambilkan minum. Aku takut pembicaraan panjang kami membuat dia dan bayi kamu kehausan.

"Friska, lihat aku. Kamu suka sama rumah ini kan? Persis seperti mimpi kamu kalau punya rumah sendiri. Itu kan yang tadi kamu bilang? Nah, terus kenapa sekarang kamu kaget gitu waktu aku bilang rumah ini buat kamu, buat anak-anak kita nantinya? Friska, nggak mungkin kamu membesarkan anak kita nanti sendirian sedangkan aku ada, aku mampu untuk membesarkan bersama kamu. Sekali ini aja, friska, aku minta, menikahlah denganku. Jadilah istriku, ibu dari anak-anak kita nanti. Aku tahu, kita memulai dengan sesuatu yang salah dan tanpa cinta. Tapi, jadikanlah anak kita ini alasan utama untuk kita memulai sesuatu yang baru bersama-sama. Kamu mau kan, menerima aku untuk menjadi suami kamu? Menerima segala kekuranganku bahkan menerima aku yang belum mencintai kamu?" Pintaku padanya.

"A-aku nggak tahu, Bingang, ini terlalu cepat. Kita bahkan baru ketemu kurang dari 24 jam setelah 3 bulan lamanya tak ketemu dan sekarang kamu memintaku untuk menjadi istrimu? Ini mustahil, Bintang. Aku nggak tahu.."

"Aku trauma sama yang namanya pernikahan. Orang tuaku bercerai dan aku takut akan seperti mereka. Ta-tapi, aku juga nggak ingin nanti anakku mengalami hal yang sama seperti aku. Hanya memiliki ibu tanpa ayah disampingnya. Aku takut, aku bingung.. Hiks.."

"Friska, dengar aku. Aku janji sama kamu untuk memberikan kamu kebahagiaan. Jaminannya seluruh hidup aku untuk kamu, Friska. Kalau sampai aku menyakitimu, kamu boleh melakukan apapun itu, termasuk jika kamu ingin membunuhku sekalipun. Tapi, percayalah, aku akan selalu memberikanmu kebahagiaan. Tak akan kubiarkan tangisan kesedihan hadir di matamu. Aku akan memberikan tangisan kebahagiaan. Kamu mau kan?"

"I-iya, Bintang. Aku mau. Janjimu kupegang. Aku nggak mau anakku mengalami hal yang sama seperti aku"

Kupeluk dia erat. Kuusap punggungnya pelan. Sial, double sial. Kenapa malah kembali bereaksi nggak normal gini sih ini tubuh. Gawat, harus ada pengalihan ini.

"Hmm.. Friska, no telepon orang tuamu? Setidaknya aku ingin memintamu secara baik-baik. Video call bisakah?"

Dua puluh menit aku lakukan untuk menelepon mamanya Friska. Beliau memang marah, karena aku merusak anak gadisnya. Tapi, beliau mengijinkanku untuk menikahi anaknya. Dua puluh menit kemudian kulakukan untuk menelepon papanya. Tanggapan datar yang dia berikan. Ketika kuminta kesediaannya untuk menikahkan Friska denganku, dia hanya menjawab singkat, padat, jelas. Wakilkan dengan wali hakim saja. Huhhh.. Terbuat dari apa sebenarnya hatinya papanya Friska ini.

Kulihat dia sedang asyik melihat-lihat interior rumah ini, calon rumahnya. Aku masih asyik menelepon orang tuaku yang langsung semangat untuk pulang kembali ke tanah air walaupun sebelumnya sempat marah-marah karena kutinggalkan. Aku hanya meminta mereka untuk pulang sesuai jadwal karena tak mungkin mereka bisa datang ke pernikahanku kalau aku ingin menikah besok pagi.

Segera setelah urusan dengan para orang tua selesai, aku meminta bantuan asistenku di Jakarta untuk segera menguruskan berkas-berkasku untuk menikah. Aku ingin menikahinya besok dan besok sudah harus ada penghulu datang ke rumahku ini. Kubayangkan wajah Erick tatkala kuberikan titah seperti ini. Biarlah, dia bingung harus bagaimana.

"Friska, kamu lapar? Mau makan apa? Biar aku buatkan sebentar"

"Kamu bisa masak? Unbelievable. Seorang Bingang yang egois, pengecut, bisa masak? Boleh keprok-keprok nggak?"

"Jangan ketagihan aja nanti kalau sudah mencoba masakanku"

Malam ini kami habiskan dengan segala macam cerita selama 3 bulan kami tak bertemu. Dan bisa kutebak, dia kaget begitu mengetahui keinginanku menikahinya esok hari. Dia hanya bisa menangis mendengar jawaban ayahnya. Ketidakhadiran ibunya dan orang tuaku. Aku bisa apalagi selain memeluknya dan mengusap punggungnya.

"Mandilah setelah itu tidurlah. Aku siapkan tempat tidurnya dulu"

"Bintang, temani aku sampai aku tidur, aku takut mimpi buruk itu datang lagi"

Hmm.. Sepertinya nanti malam aku harus mandi air dingin kalau ceritanya seperti ini.

"Oke, kamu nggak takut nanti terjadi apa-apa sama kita kalau berduaan gini? Kita belum sah, Friska, kamu tahu itu kan? Walaupun yaa, memang sudah kejadian juga sih malam itu hingga ada baby di dalam perut kamu. Hallo, anak ayah. Baik-baik ya di dalam perut ibu. Jangan nakal yaa. Maaf, ayah baru bisa menyapa sekarang. Ayah habis pergi jauh, tapi ayah bawa banyak oleh-oleh buat kamu, nak. Sehat terus yaa, nak"

Dia langsung memelukku erat, kurasakan bahunya bergetar. Aku tahu dia menangis karena bahagia. Hingga aku merasakan kakiku tak lagi menginjak bumi tatkala kudengar bisikannya, "Aku sayang kamu, Bintang"

Kubaringkan dia, kuelus rambutnya sebentar dan kukecup keningnya. Dia tertidur dengan senyum yang indah, "Selamat malam, Friska, tidurlah yang nyenyak, mimpilah yang indah. Aku menyayangimu"

Esok hari adalah awal dari kehidupan kami yang baru. Tanpa Bulan dan Reza kami tak akan bertemu. Tanpa Bulan dan Reza, aku tak akan bisa merasakan rasa ini. Terima kasih sudah mempertemukan kami. Esok memang awal untuk kami, tapi kami yakin dan percaya jika kami akan selalu bersama. Sesuatau yang kami mulai salah ternyata membawa hikmah yang luar biasa indah untuk kami. Siapa yang menyangka jika jodohku adalah Friska, gadis yang sudah terang-terangan sejak awal antipati terhadapku. Gadis yang sama-sama merasakan sakit melihat orang yang kami cintai bersanding kembali. Jodoh memang tak terduga. Jika saja mamaku tak bilang melihat seorang gadis berdiri di depan rumah, aku tak akan mengetahuinya. Dan aku tahu, ini adalah takdir cinta yang sudah Tuhan gariskan untukku. Aku harus melewati Bulan dulu hingga bertemu dengan Friska. Tuhan tahu jika Bulan dan Bintang memang tak pernah bisa bersatu. Tapi, Tuhan juga tahu, jika Bintang dan Friska akan bersatu untuk selamanya.
 
--- 000 ---
Sebenarnya ide cerita awalnya nggak kayak gini, tapi nggak tau kenapa pas udah nulis, malah mengalirnya ceritanya kayak gini. Kebanyakan narasi sebenarnya. Semoga pembaca suka.
"Cerita ini diikutkan dalam OTR Challengenya mba asharliz"
Be First to Post Comment !
Post a Comment

Tulis komentarmu dengan bahasa yang sopan dan tinggalkan Nama/URL yaa, biar bisa langsung saya BW :)

Custom Post Signature

Custom Post  Signature