18 February 2014

Children's Feeling


Adilkah jika hanya anak yang selalu diminta untuk introspeksi akan kekurangannya? Padahal orang tua juga manusia yang tak luput dari kesalahan. Orang tua yang selalu memandang dari sisi “anaklah yang selalu salah” merupakan salah satu bentuk dari “kejahatan virtual” yang maksudnya bukan sepenuhnya hal tersebut suatu kejahatan asli atau perbuatan yang melanggar hukum/norma, namun hal-hal yang dilakukan sesungguhnya menimbulkan rasa sakit hati terhadap anak.
Dalam kasus ini tidak memandang usia anak. Baik anak kecil/balita, remaja dan dewasa termasuk di dalamnya. Anak yang telah dewasa pun tetap menjadi seorang anak dari orang tuanya, jadi perlakuan pun tetap sama, ia juga tak ingin jika dirinya selalu dianggap bersalah. 

Jika terjadi masalah, orang tua seringkali membuat pernyataan jika anak yang bersalah, dan kebanyakan orang tua bahkan ‘menutup mata’ mereka dengan mengabaikan sisi positif dari sang anak, hanya dikarenakan anak dianggap melakukan kesalahan pada saat itu. Jadi, pada saat terjadinya suatu perkara tersebut, orang tua hanya melihat hal-hal negatif pada diri anak, mengungkit-ungkit kesalahannya, padahal di samping itu sebenarnya anak memiliki sisi hati dan pemikiran yang baik, bahkan bukan tidak mungkin orang tualah yang terlampau mudah tersinggung sehingga selalu berpikiran negatif kepada anak, padahal bukan maksud hati anak untuk dengan sengaja menimbulkan suatu masalah tersebut.

Pada tingkat ekstrim, ada beberapa orang tua (termasuk orang tua saya) yang jika ada masalah dengan anak, mereka membuat ‘tameng’ dengan mengkondisikan seolah-olah anak berbuat sesuatu hal yang menyebabkan hati orang tua disakiti, dianggap tidak mau menuruti perkataan/nasehat orang tua, dianggap membantah, dan lain-lain. Padahal, faktanya belum tentu sang anak bermaksud melakukan itu (dari dasar hatinya). Orang tua seringkali gelap mata mudah marah dan mudah suudzon kepada anak jika situasi menjadi buruk. Masya Allah, sebaiknya menjadi orang tua janganlah mudah berprasangka seperti itu selama anak tidak berbicara kasar dan tidak sopan terhadap orang tua. Hanya Allah SWT-lah yang mengetahui isi hati setiap manusia dan belum tentu anak di dasar hatinya memiliki niat untuk menyakiti hati orang tua. Sangat disayangkan jika ada orang tua yang tidak mau memberi kesempatan anaknya untuk berbicara untuk menjelaskan kondisi permasalahan dan dengan entengnya mereka lalu men-cap anaknya dengan kata-kata/kalimat negatif serta menyuruh mereka diam tidak berbicara sepatah kata pun ketika mereka marah.


Efek samping yang ditimbulkan dari keadaan tersebut ada dua macam (berdasar pengalaman saya pribadi dan teman saya yang memiliki tipe orang tua seperti di atas):

1. Anak menjadi takut melakukan suatu tindakan, lemah, tidak bisa bersikap tegas jika ia di-zhalimi/dirugikan dan tidak berani mengeluarkan pendapat. Hal ini disebabkan anak selalu di-cap “salah” di lingkungan tempat tinggalnya. Ini adalah refleksi dari ketakutan terhadap orang tua dan keadaan inilah yang saya alami. Ia terbiasa takut berbuat sesuatu sehingga ketika berada di lingkungan luar rumah ia berpikir jika orang lain akan memperlakukan sama dengan apa yang orang tuanya perbuat kepadanya. Mereka yang berada di golongan ini mungkin punya jeritan hati seperti berikut: “Orang tua mendengar tapi tak mau mengerti” ,jadi lebih aman jika mereka diam di manapun mereka berada.

2. Anak menjadi vokal, bicara ceplas-ceplos dan seringkali pernyataan yang ia keluarkan cenderung menyakitkan bagi orang lain(selain keluarga inti). Ini adalah refleksi “pembalasan” yang tidak ia bisa lakukan di lingkungan rumah, jadi ia mengalihkannya di lingkungan selain rumah untuk membuktikan ke-eksis-an dirinya.

Dua dampak yang saya uraikan saya sebut dengan ‘dampak tolak belakang’ yang maksudnya ‘kebalikan’ dari kondisi orang tua tidak adil di atas, yang menyebabkan anak menjadi takut dalam menghadapi kehidupan di luar lingkungan rumah, atau justru sebaliknya ia menjadi anak yang tidak peduli dengan perasaan orang lain karena seenaknya sendiri dalamn bersikap/berbicara. Perilaku tidak peduli dengan perasaan orang lain merupakan aplikasi anak dari apa yang ia rasakan dan ia lihat pada kondisi di rumah serta bagaimana orang tua memperlakukannya.

Sikap orang tua yang ketika sedang marah dikarenakan suatu hal tertentu dan pada saat anaknya ingin menjelaskan sesuatu (dengan cara yang sopan tentu saja), namun mereka justru menyuruh anaknya untuk diam dengan penuh emosi merupakan sikap ‘anarkis’ terhadap perasaan anak. Saya dapat merasakan kepedihan itu. Ironi sekali, di satu sisi orang tua selalu mengajarkan kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sabar, tidak boleh mudah marah, dan hal-hal baik lainnya. Namun, orang tua di usia mereka yang sudah senja justru menunjukkan sikap yang sebaliknya. Memang, secara umum orang tua yang sudah berusia lanjut (sekitar 55thn ke atas), konon katanya sifatnya mirip anak kecil dan sudah mulai muncul bibit-bibit tidak sabaran, lekas marah dan lain sebagainya. Tetapi berdasar pengamatan saya tidak semua orang tua usia lanjut memiliki karakter seperti itu. Karakter/sifat dasar orang tua (pembawaan pada diri orang tua sejak masih muda) juga akan mempengaruhi bagaimana karakter mereka kelak jika memasuki usia lanjut.

Marilah kita tanamkan sikap bijak dan adil pada diri kita, agar jika kita kelak telah berusia lanjut tidak menyakiti hati dan perasaan anak-anak kita.

Jika sampai detik ini kita masih memiliki orang tua, maka posisi kita adalah tetap sebagai anak sekalipun kita sudah menikah dan memiliki anak. Lain halnya jika kedua orang tua kita sudah meninggal dunia. Yang lebih sering diperhatikan adalah wacana tentang memperlakukan anak balita/usia sekolah dan usia menjelang remaja. Selain itu juga banyak wacana atau tulisan mengenai pentingnya menghormati orang tua, khususnya ibu. Namun, sebagai manusia dewasa dan sebagai seorang anak, adakah pihak-pihak yang memperhatikan perasaan kami? Terlebih seorang anak yang memiliki orang tua dengan karakter seperti yang saya uraikan di atas. Mereka mungkin hidup dengan penuh ketegangan, tidak nyaman dan takut berbicara dengan orang tuanya sendiri. Mereka selalu merasa terpojok, bingung, jika mengambil sikap diam dianggap tidak peduli, namun jika berbuat sesuatu juga takut untuk disalahkan. Ketika anak ingin berbicara mengungkapkan pendapat takut dianggap keliru bahkan takut jika menyinggung perasaan orang tua. Namun terkadang benturan tidak dapat dihindari. Sesungguhnya tidak ada niat hati seorang anak untuk menyakiti orang tua, namun reaksi/respon orang tua sungguh tak terduga marah luar biasa dan seringkali yang kita jumpai orang tua memakai-maki dan mengeluarkan kata-kata yang buruk tentang anaknya. Wahai orang tua: “Adilkah hal itu untuk kami terima?”. Padahal kami bukan anak pembangkang, kami berusaha bertutur kata dengan sopan namun mengapa orang tua dengan sifat yang terlalu mudah tersinggung menghakimi kami dengan sebegitu buruknya?

(diambil dari Maylaiva - dengan perubahan seperlunya)
Be First to Post Comment !
Post a Comment

Tulis komentarmu dengan bahasa yang sopan dan tinggalkan Nama/URL yaa, biar bisa langsung saya BW :)

Custom Post Signature

Custom Post  Signature