20 January 2015

It's always been you

Hamparan pasir di sebuah pantai terlihat sangat mempesona ditambah dengan suara air laut yang sangat tenang. Senja yang dating menggiring mentari yang redup dalam biasnya mengusung warna keemasan yang cantik. Di antara berpuluh-puluh manusia yang memadati segala pandang, tampak dua orang anak kecil sedang asyik bercengkrama. Mereka tampak tak mempedulikan keadaan sekitar, tetap asyik bermain sembari bercanda. Dari kejauhan, orang tua kedua anak tersebut hanya diam memperhatikan. Tak lama kemudian, salah satu dari kedua orang tua anak tersebut memanggil mereka. Membuat mereka dengan seketika menghentikan kegiatan mereka dan segera berlari mendekati kedua orang tuanya.

“Cresentia, Alvaro, kesini, nak. Udah mau maghrib, sebaiknya kita segera pulang. Ayo, sayang.”

“Iya, mi, sebentar. Tia, ayo, cepetan. Jangan kelamaan. Udah biarin aja istananya.”

“Tapi, aku suka sama istananya, Al. Istananya bagus banget.”

“Ya udah, besok kalau udah gede, Al bikini Tia istana yang indah dan bagus deh. Letaknya di deket-deket pantai. Gimana? Tia mau kan nunggu Al gede terus bikini Tia istana seperti yang Tia mau?”

“Beneran, Al? Janji?”

“Iya, Al janji. Dan Al mau Tia nunggu Al. Al mau jadiin Tia ratu di istana yang Al bikin nanti.”

Dan sepasang jari kelingking itupun bertautan menandakan keduanya berjanji untuk menepati janji masing-masing.

“Yuk, jeng, mas, kami pulang duluan. Next time, kita liburan bareng lagi yaa. Mumpung, anak-anak masih kecil, belum banyak alasan buat nolak diajak pergi.”

“Iya, mbakyu, mas. Hati-hati. Bener banget itu, mbakyu. Semoga kita bisa liburan bareng lagi kayak gini. Tia, salim dulu sama mami-papinya Al.”

“Dadah, Tia. Hati-hati ya. Jangan lupa sama janji kita. Tia tunggu Al yaa.”

15 tahun kemudian

“Huft, finally, proyek impian gue waktu kecil terealisasi juga. Semoga dia suka ya. Ngomong-ngomong, dia kayak apa ya sekarang? Udah lama gue ga ketemu sama dia. Terakhir ketemu, dia nangis jerit-jerit waktu gue tinggal ke Belanda. Ini udah hamper setahun gue balik, gue belum ketemu dia satu kalipun. Hmm, tanya mami ah. Siapa tau mami punya info terbaru tentang dia.”
Belum sempat dia keluar dari ruangan tempat dia berada sekarang, yang dicari-cari daritadi datang ke ruangannya, ingin mengajak makan siang bersama.

“Hai, nak. Sibuk, ngga, kamu siang ini? Temenin mami makan siang yuk. Mami laper. Papi kamu sibuk meeting. Mami sebel sama papi.”

“Hai, mi. Kebetulan banget, Al baru mau keluar cariin mami di ruangannya papi. Ada yang mau Al tanyain sama mami soal Tia, mi. Tia kemana sih, mi? Udah hampir setahun, Al balik dari Belanda, Al belum ketemu sama Tia. Al kan kangen, mi. Al mau menuhin janji Al ke Tia dulu waktu kecil. Mami tau ngga, kira-kira Tia dimana?”


Maminya hanya bengong mendengar anaknya berbicara panjang lebar tanpa titik, tanpa koma, dan hanya dengan satu tarika napas. Sumpah, aku aja ngga bisa ngomong panjang lebar kayak gitu dengan satu tarikan napas. Kayak orang ijab kabul aja.

“Udah, nanti Mami kasih tau dimana Tia sekarang. Yang penting sekarang kamu temenin mami makan dulu. Mami udah laper pake banget. Kamu mau, mami masuk rumah sakit karena ngga dikasih makan sama anak dan suami mami?”

“Ya udah, Al temenin mami makan. Tapi, habis itu kasih tau Al dimana Tia sekarang. Kalau sampai ngga dikasih tau, Al bakalan tidur di apartemen. Titik ngga pakai koma.”

Maminya hanya bisa pasrah dan gembira mendengar anaknya berbicara seperti itu. Mau gimana lagi kalau anaknya punya kemauan, seterjal, sesulit apapun halangannya pasti akan diraihnya. Persis papinya. Kenapa ngga ada yang kayak aku, maminya, padahal aku yang ngelahirin dia. Yah, beginilah kalau pas hamil ngidamnya pingin sama papinya Al terus. Jadinya, ya, kayak Al sekarang ini.

“Oke, Al udah temenin mami makan. Sekarang Al tagih janji mami. Dimana Tia sekarang. Jangan bilang mami ngga tau ya.”

“Sayang, kamu bisa ngga, kalau ngga pakai ngancam mami? Kalau urusannya sama Tia aja, mami diancam-ancam. Kamu nyebelin banget sih, Al.”

Kalau ngga ada yang kenal mereka berdua, mungkin dikiranya mereka berdua ini sepasang kekasih. Secara maminya Al wajahnya tetap aja kelihatan muda di usianya yang sudah menginjak kepala 4. Ada untungnya juga orang tuanya Al nikah muda. Jarak usia mereka dengan anak mereka tak berbeda jauh.

Al hanya diam menunggu maminya berbicara lagi. Tapi yang ditunggu malah asyik mainan handphone. Sungguh amat terlalu membiarkan Al menunggu seperti ini. Seperti menghabiskan stok kesabaran Al saja.

“Selamat siang, mami. Telat ngga nih aku datangnya? Maaf, kelamaan yaa nunggunya? Habisnya macet banget tadi di jalan. Maklum jam makan siang. Lagian juga mami mintanya mendadak dangdut gini sih. Untung aku lagi di deket-deket sini. Coba kalau ngga, bisa sampai maghrib nanti mami nungguinnya.”

Dan lagi, maminya hanya bisa bengong mendengar gadis ini berbicara. Seperti masih banyak stok pasokan oksigen di paru-parunya. Tak ada rasa lelah setelah berbicara panjang lebar seperti ini.

“Ngga apa-apa kok, sayang. Maaf ya, mami mintanya mendadak dangdut gini. Biasalah urgent, darurat gitu. Hehe..”

Gadis itu hanya tersenyum mengiyakan jawaban wanita yang ada di hadapannya. Sembari menunggu kelanjutan dari wanita tersebut, si gadis memesan minuman kepada pelayan restoran.

“Al, kamu nanti pulangnya tolong anterin anaknya temennya mami ya. Mami ada urusan sama papi. Mobil kamu biar mami yang bawa. Tapi, ingat yaa, pulang ke rumah, bukan ke apartemen. Kalau sampai kamu pulang ke apartemen apalagi ngajakkin anaknya temen mami ini nginap di apartemen kamu, besok pagi mami nikahin kamu sama anaknya temennya mami ini. Mengerti, kamu, Al? Bukan Cuma kamu aja kan yang bisa ngancam? Mami juga bisa kan? Mami gitu loh.”

Al hanya tertawa kecil mengiyakan keinginannya maminya tersebut. Kata orang-orang jaman dulu sih, jangan membantah apa kata orang tua, nanti dosa. Tapi, kalau membantah apa kata maminya ini, yang ada nanti perang dunia perkeluargaan bakalan dimulai lebih cepat.

Sepeninggal maminya Al yang langsung pergi meninggalkan restoran, Al tersenyum memandangi gadis yang ada di sebelahnya ini. Cuek dan tak peduli dengan keadaan yang barusan terjadi antara Al dan maminya. Dan sebagai lelaki yang gentle, haruslah memulai pembicaraan dan perkenalan.

“Ehem, sorry, kita belum kenalan. Namaku Alvaro. Kamu?”

“Hai, namaku? Namaku ‘ratu di sebuah istana di dekat pantai’.”

“Ti – tia, is it you? Really you? My Godness, I can’t believe it. I can meet you again. Hampir setahun aku balik ke Indonesia, dan ngga ketemu kamu sama sekali. Ternyata kamu ngumpet selama ini. Mami bener-bener deh, ngga bilang daritadi.”

Si gadis yang bernama Tia hanya bisa terkekeh-kekeh mendengar gerutuan Al. Hampir 5 tahun ngga ketemu sama Al ngga banyak perubahan yang dialami sama Al. Hanya saja kenapa dia lebih cerewet yaa, ngga kayak dulu.

“Yuk, ikut aku. Aku mau kasih lihat sesuatu sama kamu. Dan ini special banget. Dan kamu ngga boleh nolak buat ikut aku. So, mana kunci mobil kamu?”

Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di tempat yang sangat special untuk Al.

“Al, ini serius? Ini nyata? Kamu ngga lagi boongin aku kan? Ini beneran kan? Aaaa, makasih banyak Al. Aku suka banget. Mirip sama yang pernah kamu bikini buat aku dulu di pasir.”

“Aku senang kalau kamu suka sama hasil karyaku ini. Karena aku udah berhasil ngebangun istana impian kamu, so, sekarang kamu yang bagian ngisi perabotan dalam rumah. Dan itu artinya, mau ngga mau, suka ngga suka, kamu harus jadi istri aku. Ngga boleh nolak. Ngerti kamu?”

“Eh, busyet, Al, kamu minta anak orang buat jadi istri kamu kok kayak gini sih ngomongnya? Ngga ada romantis-romantisnya sama sekali. Huft. But, it’s oke. I’ll give my answer. It’s a yes. I want to be your wife, Al.”

“Beneran, Tia? Kamu mau jadi istri aku? Alhamdulillah. Yuk, kita pulang ke apartemen aku ya sekarang, biar mami ngelaksanain ancamannya tadi. Besok pagi kan aku bisa langsung nikah sama kamu. Balik sekarang, ngga boleh jawab ngga.”

Tak peduli seberapa kakunya kita berbicara, namun apabila bahasa tubuh kita mengisyaratkan lebih baik dari apa yang kita bicarakan, tentunya akan membuat segalanya terasa lebih mudah.

-       Alvaro & Tia –

--- ooo ---

20 Januari 2015

Kebetulan ada ide nyangkut di otak, tuanginlah ke dalam tulisan. Walaupun jujur agak sedikit aneh, gaje, alay, dan mungkin ngga nyambung, tapi, ngga apa-apa. Tetep semangat nulis (semoga).

Dan kali ini ceritaku ini aku dedikasiin ke mba Alvika Dae. One of my favorite author juga di wattpad. Semangat yaa, mba, buat projectnya. Aku mendoakan dan menunggu projectmu. 


Dan buat pembaca setia blogku, bisa langsung klik link berikut ini untuk bisa baca di wattpad

Oke, happy reading yaa, readers :). Semoga kalian suka yaa. Makasih :)
Be First to Post Comment !
Post a Comment

Tulis komentarmu dengan bahasa yang sopan dan tinggalkan Nama/URL yaa, biar bisa langsung saya BW :)

Custom Post Signature

Custom Post  Signature